Meradikalkan
Nilai-nilai Pancasila
Satu persoalan
yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini di Tanah Air adalah, persoalan
tercerabutnya warga bangsa ini dari akar budaya bangsa yang telah dibangun
dengan susah payah oleh para founding fathers dan founding mothers negeri ini.
Sebagian anak bangsa selain tidak lagi memahami empat pilar bangsa yakni
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Beberapa fenomena yang terlihat antara lain: pemerintah secara sadar atau tidak lebih memilih sistem dan kebijakan pembangunan neoliberalisme dan neokapitalisme, dibanding merujuk pada sistem ekonomi seperti yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Sementara itu sebagian anak bangsa bahkan ingin menggantikan dasar negara dengan landasan primordial agama dan lainnya.
Beberapa fenomena yang terlihat antara lain: pemerintah secara sadar atau tidak lebih memilih sistem dan kebijakan pembangunan neoliberalisme dan neokapitalisme, dibanding merujuk pada sistem ekonomi seperti yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Sementara itu sebagian anak bangsa bahkan ingin menggantikan dasar negara dengan landasan primordial agama dan lainnya.
Berangkat
dari uraian singkat di atas, menjadi penting mengakarkan kembali ”radikalisasi”
nilai-nilai Pancasila. Kata ”radikal” berasalah dari bahasa Latin dengan akar
kata ”radic”, yang berarti mengakar atau sangat mendasar.
Sehingga pada frasa ”meradikalkan” sebagaimana tersebut di atas, adalah dimaksudkan untuk mengakarkan kembali nilai-nilai pancasila sebagai budaya bersama bangsa.
Upaya ini menjadi penting, mengingat akhir-akhir ini, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa kerbersamaan sebagai sebuah negara bangsa (nation state) di Indonesia, seakan tergugat oleh bangkitnya sentimen primordial sekaligus diperhadapkan dengan semakin maraknya praktik-praktik kekerasan, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa menjadi wakil kebenaran di muka bumi.
Sehingga pada frasa ”meradikalkan” sebagaimana tersebut di atas, adalah dimaksudkan untuk mengakarkan kembali nilai-nilai pancasila sebagai budaya bersama bangsa.
Upaya ini menjadi penting, mengingat akhir-akhir ini, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa kerbersamaan sebagai sebuah negara bangsa (nation state) di Indonesia, seakan tergugat oleh bangkitnya sentimen primordial sekaligus diperhadapkan dengan semakin maraknya praktik-praktik kekerasan, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa menjadi wakil kebenaran di muka bumi.
Etika ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk
memberi ruang bagi kemajemukan pada satu sisi dan pada sisi lain tercapainya
cita-cita kemakmuran serta keadilan sebagai wujud dari tujuan nasional
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Yang jika dicermati secara
kritis pada alenia ketiga dari pembukaan undang-undang, akan terlihat jelas
bahwa para founding fathers dan founding mothers kita, dengan sangat tulus dan
rendah hati menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya akan bisa dicapai atas
berkat rahmat Allah, sehingga dalam alinea ini mengamanatkan bahwa tugas
menjaga kerukunan dalam kemajemukan, sekaligus mencapai cita-cita kemakmuran
dan keadilan, tidak saja dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, melainkan
juga kepada Tuhan semesta alam.
Kegagalan negara melalui pemerintah dalam menjalankan
tanggungjawab etisnya sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan konstitusi
sebagaimana tersebut di atas, seakan telah mengantarkan masa depan bangsa
semakin tercerabut dari akar keindonesiaannya, untuk kemudian kembali kepada
”lokalitasnya”, serta primordialisme sempitnya untuk mengatakan kami dan
kalian, alias bukan kita bangsa Indonesia.
Beranjak dari pemikiran di atas, kembali pada Pancasila
bukanlah pilihan oportunis yang timbul dari lemahnya kepercayaan diri,
melainkan pencaharian dari karakter keindonesiaan. Karakter keindonesiaan
tersebut pertama-tama tercetak selain karena pengaruh ekosistemnya, melainkan
juga berangkat dari akar budayanya sendiri. Dalam proses inilah diperlukan apa
yang oleh Kuntowijoyo, sebagai proses ”Radikalisasi Pancasila” yakni satu
proses merevolusi gagasan untuk membuat Pancasila menjadi tegar dan efektif
sebagai ideologi negara.
Proses kembali kepada Pancasila dan tiga pilar bangsa
lainnya, sesungguhnya sedang mengantarkan bangsa Indonesia pada proses menjadi
manusia Indonesia (being Indonesian), sekaligus kembali kapada akar budaya
dengan segala karakter yang dimiliki, ia masyarakat Indonesia, bukan Barat
dengan proses westernisasinya dengan proyek pembangunan neoliberalismenya, juga
bukan Arab dengan proses Arabisasinya, melainkan kembali kepada akar budayanya
bangsanya dan menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
pembangunannya.
Meradikalisasi nilai-nilai Pancasila, bukan dimaksudkan
untuk mengembalikan pola indoktrinasi tertututp atas Pancasila, melainkan
menjadikannya sebagai sesuatu yang hidup dan sebagai “ideologi terbuka”, yang
didalamnya ada proses dialogis dan kesadaran kritis (critical awareness), dengan
demikian menjadikan Pancasila sebagai sebagai ideologi bersama yang digali dari
akar budaya bangsa sendiri dan diyakini telah mengalami proses penggalian yang
dalam tidak saja pada kesuburan alamnya melainkan juga pada nilai sosial
budayanya yang sangat berbeda, namun satu jua adanya (Bhineka Tunggal Ika).
Konstitusional
Bagi sebagian orang, terutama para elite penyelenggara negara, bahwa proses demokrasi (demokratisasi), yang sedang berlangsung di Indonesia sudah berada pada jalan yang benar (on the right track). Semua lembaga demokrasi standar sudah tersedia: orang bebas membentuk partai, parlemen kuat, pemilu berlangsung dengan bebas, para bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat, kebebasan berpendapat dan berekspresi berlangsung besangat luas, dan sebagainya.
Bagi sebagian orang, terutama para elite penyelenggara negara, bahwa proses demokrasi (demokratisasi), yang sedang berlangsung di Indonesia sudah berada pada jalan yang benar (on the right track). Semua lembaga demokrasi standar sudah tersedia: orang bebas membentuk partai, parlemen kuat, pemilu berlangsung dengan bebas, para bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat, kebebasan berpendapat dan berekspresi berlangsung besangat luas, dan sebagainya.
Pada sisi lainnya kebebasan sipil dan politik dianggap
berjalan baik alias surplus. Namun demikian, demokrasi bukan sekadar bicara
kebebasan membentuk partai, kebebasan berekspresi dan atau rakyat dapat memilih
secara langsung pemerintah daerahnya. Bicara demokrasi secara esensial
sesungguhnya bicara negara konstitusional, bicara kesejahteraan rakyat, bicara
tentang law enforcement secara adil dan bicara tentang kedaulatan rakyat serta
bicara soal negara yang bersih dan transparan.
Dalam perspektif ini, dirasakan sekali bahwa demokrasi kita
sedang mengalami defisit. Kebebasan mendirikan partai politik tidak dibarengi
dengan upaya pemenuhan aspirasi rakyat, politisi justru lebih loyal kepada
partai. Masyarakat hanya disapa ketika pemilu. Pada sisi lainnya, kesempatan
masyarakat memilih langsung kepala daerah, yang terjadi justru kontestasi
politik mahal. Akibatnya, pemerintah daerah tidak banyak yang bisa mengelola
dan membangun daerah sesuai potensi di daerahnya, yang terjadi justru distribusi
korupsi dari pusat ke daerah. Dan, ini adalah konsekuensi logis dari kontestasi
politik mahal. Sehingga harapan untuk menjadikan rakyat lebih makmur dalam
keadilan, menjadi semakin jauh dari kenyataan. Tidak kurang 51 komoditi pokok
harus impor, sehingga dapat dikatakan Indonesia saat ini sedang benar-benar
salah urus.
Berangkat dari fenomena sebagaimana terurai di atas, paling
tidak ada lima pembacaan penting dari buah penanaman kembali kembali pada
spirit nilai-nilai Pancasila dalam pengertian yang lebih substantif dalam
bingkai kesadaran kritis. Pertama, Indonesia sebagai negara religius, tapi
tidaklah sama mengatakan salah satu agama atau satu bentuk religiusitas
tertentu sebagai superior dibanding yang lain. Kedua, Nusantara kita adalah
kuali tempat penyerbukan silang budaya, kepulauan kita adalah ”taman sari”
peradaban dengan segala keanekaragamannya, sehingga tidak satu unsur budaya pun
yang seharusnya merasa anak emas, anak perak dan perunggu peradaban. Oleh Empu
Tantular dalam Sutasomanya disebut Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma
Mangrwa (berbeda-beda namun satu jua adanya, dan tiadalah kebenaran yang
mendua).
Ketiga, Bahwa tujuan dibentuknya negara bangsa (nation
state) adalah untuk mewujudkan keadilan dalam kemakmuran dalam bingkai backward
looking nostalgia, tetapi juga forward loking nostalgia, karena memang bumi
pertiwi ini adalah gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Dan
sesungguhnya Indonesia adalah the belt of prosperity atau gugusan kemakmuran.
Keempat, bahwa sifat dasar masyarakat Indonesia kebersamaan
dalam perbedaan, itu sebabnya dalam frasa klasik kita mengenal istilah
sambatan, urung rembuk dan gotong royong, inilah yang oleh para founding
fathers kita disebut sebagai ekonom kerakyatan. Namun ketika masyarakat yang
memiliki akar kebersamaan yang kuat itu kemudian disentuh dengan pendekatan
mesin kapitalisme, sesungguhnya selain akan mengantarkan masyarakat kita
tercerabut dari akar budayanya untuk kemudian menjadi materialis, akan tetapi
juga akan menjadikan anak bangsa ini menjadi rakus, tidak bisa berbagi, yang
kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin nyungsep.
Kelima, sebagai konsekuensi logis sebagai negara religious
atau negara ber-Tuhan, dengan fasilitas kekayaan alam yang terkandung di rahim
Bumi Pertiwi, maka mewujudkan keadilan dalam kemamuran, selain harus
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, melainkan juga kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Dan jika negara via pemerintahnya gagal memenuhi tanggung jawab
keadilan dalam kemakmuran, adalah satu kewajiban bagi rakyat untuk menuntut
dengan cara sopan maupun memaksa.
Kelima poin penting inilah yang dapat ditangkap dari
pemahaman dan penelaahan atas dasar negara Pancasila. Ia adalah ”rumah kita dan
atau identitas kita”, nilai dasar kita bangsa Indonesia, sehingga menjadi
Indonesia kembali adalah satu keharusan jika ingin bertahan dan kuat menghadapi
transformasi kehidupan yang kian tidak ramah. Hanyalah bangsa yang sadar budaya
dan identitasnya yang akan ajeg di tengah terpaan gelombang perubahan.(*)
0 komentar:
Posting Komentar