World Of Warcraft, WoW Hand Armor

Senin, 23 April 2012

meradikalkan nilai pancasila


Meradikalkan Nilai-nilai Pancasila

     Satu persoalan yang mengkhawatirkan akhir-akhir ini di Tanah Air adalah, persoalan tercerabutnya warga bangsa ini dari akar budaya bangsa yang telah dibangun dengan susah payah oleh para founding fathers dan founding mothers negeri ini. Sebagian anak bangsa selain tidak lagi memahami empat pilar bangsa yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Beberapa fenomena yang terlihat antara lain: pemerintah secara sadar atau tidak lebih memilih sistem dan kebijakan pembangunan neoliberalisme dan neokapitalisme, dibanding merujuk pada sistem ekonomi seperti yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Sementara itu sebagian anak bangsa bahkan ingin menggantikan dasar negara dengan landasan primordial agama dan lainnya.
Berangkat dari uraian singkat di atas, menjadi penting mengakarkan kembali ”radikalisasi” nilai-nilai Pancasila. Kata ”radikal” berasalah dari bahasa Latin dengan akar kata ”radic”, yang berarti mengakar atau sangat mendasar.
Sehingga pada frasa ”meradikalkan” sebagaimana tersebut di atas, adalah dimaksudkan untuk mengakarkan kembali nilai-nilai pancasila sebagai budaya bersama bangsa.
Upaya ini menjadi penting, mengingat akhir-akhir ini, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa kerbersamaan sebagai sebuah negara bangsa (nation state) di Indonesia, seakan tergugat oleh bangkitnya sentimen primordial sekaligus diperhadapkan dengan semakin maraknya praktik-praktik kekerasan, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa menjadi wakil kebenaran di muka bumi.
Etika ini meneguhkan pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu sisi dan pada sisi lain tercapainya cita-cita kemakmuran serta keadilan sebagai wujud dari tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Yang jika dicermati secara kritis pada alenia ketiga dari pembukaan undang-undang, akan terlihat jelas bahwa para founding fathers dan founding mothers kita, dengan sangat tulus dan rendah hati menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya akan bisa dicapai atas berkat rahmat Allah, sehingga dalam alinea ini mengamanatkan bahwa tugas menjaga kerukunan dalam kemajemukan, sekaligus mencapai cita-cita kemakmuran dan keadilan, tidak saja dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, melainkan juga kepada Tuhan semesta alam.
Kegagalan negara melalui pemerintah dalam menjalankan tanggungjawab etisnya sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan konstitusi sebagaimana tersebut di atas, seakan telah mengantarkan masa depan bangsa semakin tercerabut dari akar keindonesiaannya, untuk kemudian kembali kepada ”lokalitasnya”, serta primordialisme sempitnya untuk mengatakan kami dan kalian, alias bukan kita bangsa Indonesia.
Beranjak dari pemikiran di atas, kembali pada Pancasila bukanlah pilihan oportunis yang timbul dari lemahnya kepercayaan diri, melainkan pencaharian dari karakter keindonesiaan. Karakter keindonesiaan tersebut pertama-tama tercetak selain karena pengaruh ekosistemnya, melainkan juga berangkat dari akar budayanya sendiri. Dalam proses inilah diperlukan apa yang oleh Kuntowijoyo, sebagai proses ”Radikalisasi Pancasila” yakni satu proses merevolusi gagasan untuk membuat Pancasila menjadi tegar dan efektif sebagai ideologi negara.
Proses kembali kepada Pancasila dan tiga pilar bangsa lainnya, sesungguhnya sedang mengantarkan bangsa Indonesia pada proses menjadi manusia Indonesia (being Indonesian), sekaligus kembali kapada akar budaya dengan segala karakter yang dimiliki, ia masyarakat Indonesia, bukan Barat dengan proses westernisasinya dengan proyek pembangunan neoliberalismenya, juga bukan Arab dengan proses Arabisasinya, melainkan kembali kepada akar budayanya bangsanya dan menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pembangunannya.
Meradikalisasi nilai-nilai Pancasila, bukan dimaksudkan untuk mengembalikan pola indoktrinasi tertututp atas Pancasila, melainkan menjadikannya sebagai sesuatu yang hidup dan sebagai “ideologi terbuka”, yang didalamnya ada proses dialogis dan kesadaran kritis (critical awareness), dengan demikian menjadikan Pancasila sebagai sebagai ideologi bersama yang digali dari akar budaya bangsa sendiri dan diyakini telah mengalami proses penggalian yang dalam tidak saja pada kesuburan alamnya melainkan juga pada nilai sosial budayanya yang sangat berbeda, namun satu jua adanya (Bhineka Tunggal Ika).
Konstitusional
Bagi sebagian orang, terutama para elite penyelenggara negara, bahwa proses demokrasi (demokratisasi), yang sedang berlangsung di Indonesia sudah berada pada jalan yang benar (on the right track). Semua lembaga demokrasi standar sudah tersedia: orang bebas membentuk partai, parlemen kuat, pemilu berlangsung dengan bebas, para bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat, kebebasan berpendapat dan berekspresi berlangsung besangat luas, dan sebagainya.
Pada sisi lainnya kebebasan sipil dan politik dianggap berjalan baik alias surplus. Namun demikian, demokrasi bukan sekadar bicara kebebasan membentuk partai, kebebasan berekspresi dan atau rakyat dapat memilih secara langsung pemerintah daerahnya. Bicara demokrasi secara esensial sesungguhnya bicara negara konstitusional, bicara kesejahteraan rakyat, bicara tentang law enforcement secara adil dan bicara tentang kedaulatan rakyat serta bicara soal negara yang bersih dan transparan.
Dalam perspektif ini, dirasakan sekali bahwa demokrasi kita sedang mengalami defisit. Kebebasan mendirikan partai politik tidak dibarengi dengan upaya pemenuhan aspirasi rakyat, politisi justru lebih loyal kepada partai. Masyarakat hanya disapa ketika pemilu. Pada sisi lainnya, kesempatan masyarakat memilih langsung kepala daerah, yang terjadi justru kontestasi politik mahal. Akibatnya, pemerintah daerah tidak banyak yang bisa mengelola dan membangun daerah sesuai potensi di daerahnya, yang terjadi justru distribusi korupsi dari pusat ke daerah. Dan, ini adalah konsekuensi logis dari kontestasi politik mahal. Sehingga harapan untuk menjadikan rakyat lebih makmur dalam keadilan, menjadi semakin jauh dari kenyataan. Tidak kurang 51 komoditi pokok harus impor, sehingga dapat dikatakan Indonesia saat ini sedang benar-benar salah urus.
Berangkat dari fenomena sebagaimana terurai di atas, paling tidak ada lima pembacaan penting dari buah penanaman kembali kembali pada spirit nilai-nilai Pancasila dalam pengertian yang lebih substantif dalam bingkai kesadaran kritis. Pertama, Indonesia sebagai negara religius, tapi tidaklah sama mengatakan salah satu agama atau satu bentuk religiusitas tertentu sebagai superior dibanding yang lain. Kedua, Nusantara kita adalah kuali tempat penyerbukan silang budaya, kepulauan kita adalah ”taman sari” peradaban dengan segala keanekaragamannya, sehingga tidak satu unsur budaya pun yang seharusnya merasa anak emas, anak perak dan perunggu peradaban. Oleh Empu Tantular dalam Sutasomanya disebut Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa (berbeda-beda namun satu jua adanya, dan tiadalah kebenaran yang mendua).
Ketiga, Bahwa tujuan dibentuknya negara bangsa (nation state) adalah untuk mewujudkan keadilan dalam kemakmuran dalam bingkai backward looking nostalgia, tetapi juga forward loking nostalgia, karena memang bumi pertiwi ini adalah gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Dan sesungguhnya Indonesia adalah the belt of prosperity atau gugusan kemakmuran.
Keempat, bahwa sifat dasar masyarakat Indonesia kebersamaan dalam perbedaan, itu sebabnya dalam frasa klasik kita mengenal istilah sambatan, urung rembuk dan gotong royong, inilah yang oleh para founding fathers kita disebut sebagai ekonom kerakyatan. Namun ketika masyarakat yang memiliki akar kebersamaan yang kuat itu kemudian disentuh dengan pendekatan mesin kapitalisme, sesungguhnya selain akan mengantarkan masyarakat kita tercerabut dari akar budayanya untuk kemudian menjadi materialis, akan tetapi juga akan menjadikan anak bangsa ini menjadi rakus, tidak bisa berbagi, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin nyungsep.
Kelima, sebagai konsekuensi logis sebagai negara religious atau negara ber-Tuhan, dengan fasilitas kekayaan alam yang terkandung di rahim Bumi Pertiwi, maka mewujudkan keadilan dalam kemamuran, selain harus dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, melainkan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan jika negara via pemerintahnya gagal memenuhi tanggung jawab keadilan dalam kemakmuran, adalah satu kewajiban bagi rakyat untuk menuntut dengan cara sopan maupun memaksa.
Kelima poin penting inilah yang dapat ditangkap dari pemahaman dan penelaahan atas dasar negara Pancasila. Ia adalah ”rumah kita dan atau identitas kita”, nilai dasar kita bangsa Indonesia, sehingga menjadi Indonesia kembali adalah satu keharusan jika ingin bertahan dan kuat menghadapi transformasi kehidupan yang kian tidak ramah. Hanyalah bangsa yang sadar budaya dan identitasnya yang akan ajeg di tengah terpaan gelombang perubahan.(*)

0 komentar:

Posting Komentar